Rabu, 30 November 2011

Kerajaan Melayu Riau

Kerajaan Melayu Riau Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia?

Pengakuan bahwa bahasa Melayu yang menjadi teras bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau, secara implisit berarti juga pengakuan tentang adanya satu pusat kekuasaan yang telah memberi ruang dan kesempatan bahasa dan sastra Melayu itu tumbuh dan berkembang sehingga menjadi aspek budaya yang tinggi nilainya. Itu berarti tak lain kesultanan Melayu Riau lah yang menjadi pusat kekuasaan dan pendorong pertumbuhan budaya tersebut.

Bagi masyarakat Melayu, di Riau terutama pengakuan itu tampaknya sangat penting dan melibatkan emosi. Sebab bagaimanapun selama ini, sekalipun bahasa Melayu diakui telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap pengembangan kebudayaan nasional, namun induk yang membesarkannya hampir tak mendapat tempat yang wajar. Contohnya tak begitu sulit untuk dicari, dan orang cukup melihat buku sejarah nasional Indonesia (Nugroho Notosusanto, Dkk, 1975) yang dianggap sebagai buku babon (standar) bagi penulis sejarah Indonesia. Disitu peranan dan kedudukan Kerajaan Melayu Riau nyaris tak pernah disentuh dan disebut-sebut, bahkan tenggelam dalam kebesaran kekuasaan lain, seperti Aceh.

Lolosnya kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu, kemudian tentu saja menurun ke buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang bersumber dari buku babon tersebut. Di SMPT, atau SMAT misalnya, buku pelajaran sejarah Nasional tak sempat menyebut-nyebut Kerajaan Melayu itu. Apalagi buku pelajaran IPS di sekolah dasar, kecuali yang dipakai di Riau. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Apakah sejarah kebudayaan Melayu Riau yang jatuh bangun selama 189 tahun (1722-1911) bukan merupakan bagian sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi bagian sejarah Johor (Malaysia)? Itulah antara lain pertanyaan-pertanyaan menarik yang sudah bergaung jauh sebelum Seminar Nasional Kebudayaa Melayu itu berlangsung.

Sayang selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut hampir tak terjawab. Dan ini pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar itu bukanlah seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang merangkut berbagai hal secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok seminar ada kelompok aspek sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan sangat beragam dan tidak merupakan suatu pembicaraan khusus tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan memainkan peranannya di kawasan ini. Apalagi cakupan Melayu dalam pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-mata terpacu pada Riau, tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di Indonesia yang merupakan pendukung dari kebudayaan ini.

Pusat Bajak Laut
Dari sebelas makalah tentang aspek sejarah yang diperbincangkan, hanya empat makalah yang secara langsung menyinggung tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan Melayu di semenanjung, terutama berkaitan dengan Kerajaan Melayu Riau. Salah satu yang cukup mengelitik adalah makalah Dr Onghokham, (UI-Jakarta) yang berjudul “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, sebuah makalah yang tebalnya hanya sembilan halaman.

Dr Onghokham, seperti kebanyakan sejarahwan dari luar Riau, memang masih belum bersedia untuk penegaskan mana yang dimaksud dengan kerajaan Riau itu. Akibatnya selain acuan ruangan dan waktu menjadi sering tidak jelas, juga pengistilahan yang persis tentang kesultanan. Riau itu pun sering berganti-ganti. Kadang-kadang dipakai istilah Kesultanan Riau, kadang-kadang kerajaan Bintan. Kekaburan itu, sama juga dengan penegasan ahli sejarah itu tentang jejak paling jelas dari kesultanan Riau yang dikatakan abad ke-15, berarti hampir bersamaan dengan masa keemasan kerajaan Melayu Malaka (1400-1528). Sedangkan, dalam berbagai penulisan sejarah, terutama oleh sejarahwan Riau dan Malaysia, pengertian Riau itu sendiri baru ada sekitar tahun 1978, ketika Sultan Ibrahim (1677-1685) dari Johor, memindahkan sementara ibukota kerajaannya dari Batu Sawar (Johor) kehulu Riau. Pusat pemerintahan itu kembali ke Johor tahun 1690 pada masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah. Bagi kalangan sejarahwan di Riau sekarang ini, Kesultanan Riau baru terwujud tahun 1722, ketika orang-orang Bugis melantik Tengku Sulaiman sebagai Sultan. Bahkan masih ada pendapat lain yang justru mencatat bahwa Kesultanan Riau (yang lebih sering dipakai, Riau-Lingga) baru punya eksitensi politik dan kekuasaan pada saat lahirnya Trakat London (1824), saat wilayah eks Kesultanan Johor dibagi dua. Riau masuk bagian Sultan Riau Lingga dan dibawah pengawasan Belanda dan Singapura dan Johor, menjadi bagian Semenanjung Melaysia di bawah kekuasan Inggris.

Dr Onghokham juga melihat dalam sejarah perkembangannya Kesultanan Riau itu, atau lebih tepat Riau dahulunya itu, dalam percaturan Politik internasional tidak pernah merupakan pusat kekuasaan terpenting atau terbesar. Wilayah itu hanya menjadi pemukiman orang laut dan tempat pelarian raja-raja yang syah, atau dinasti atau wangsa sah sekitarnya digulingkan. Peranan Kesultanan Riau pada tahun-tahun setelah 1511, yaitu sebagai tempat strategis untuk melakukan gerilya laut, seperti untuk menyerang Protugis di Malaka. Sumber-sumber Protugis, menurut Dr Ong, menyebut gerilnya laut yang berpangkat di pulau Bintan itu sebagai bajak laut. Meskipun untuk pengertian ini, Onghokham perlu mengaris bawahi bahwa pada zaman itu, antara perang, politik, perdagangan dan pembajak laut tak banyak bedanya. Aksi Protugis menyerang Malaka 1511 itupun tak lain sama dengan bajak laut. Demikian juga blokade Belanda terhadap Makasar atau Banten abad ke-17.

Tetapi, bagaimanapun, Dr Onghokham membenarkan bahwa dalam soal budaya, Kepulauan Riau tidak kalah dengan sekitarnya. “Dinasti raja-raja Riau mungkin kalah dalam kekuasaan politik dan kalah dalam kekayaan dengan raja-raja sekitarnya. Namun dalam hal budaya mereka tetap unggul”. Begitu kesimpulan Dr Onghokham. Tidak disebutkan faktor apa yang mendorong lahirnya budaya yang unggul itu.

Tampaknya dalam masalah tersebut Dr Onghokham hanya mencoba mengambarkan selintas perkembangan sejarah, di satu kawasan bernama Riau, sebagai salah satu kawasan kerajaan maritim yang dalam pertumbuhannya tenggelam dalam bayang-bayang kebesaran Kesultanan Malaka.

Saham Raja Kecil
Sejarahwan lain yang berbicara dengan acuan yang lebih jelas tentang pengertian Kesultanan Riau itu, adalah Drs Suwardi Ms (UNRI Pekanbaru) dengan makalahnya “Kesultanan Melayu di Riau: Kesatuan dalam Keragaman). Pokok bahasan bukanlah tentang apa dan bagaimana Kesultanan Melayu di Riau itu, melainkan tentang kesatuan dan keragaman pemerintahan dan peranannya dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya Melayu. Namun, dalam pembicaraan itu pengertian tentang wilayah kesatuaan kekuasaan itu lebih punya batasan dan ruangan serta waktunya.

Suwardi Ms, sejarahwan Riau yang memang sudah cukup banyak mengeluti masalah sejarah yang terjadi dikawasan Riau sekarang ini, memulai pengertian kerajaan-kerajaan Melayu dan berkembang di Riau dari tokoh kontaraversial, Raja Kecil, (Raja Kecik) yang dalam satu perebutan kekuasaan di Kesultanan Johor 1717, berhasil merampas kekuasaan dari tangan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah. Raja Kecil, yang dikatakan anak Sultan Johor Mahmudsyah yang mati terbunuh tahun 1699, dan dibesarkan di Minangkabau itu, setelah berhasil merampas tahta kerajaan, kemudian memindahkan kekuasaan itu ke Riau, 1719. Walaupun masa kekuasaan Raja kecil ini di Riau hanya berlangsung empat tahun, namun Suwardi Ms mengganggap Raja kecil sebagi tokoh yang punya andil (saham) besar dalam upaya mewujudkan kembali kesatuan Melayu di Selat Malaka yang dahulu terpecah belah oleh kekuasaan Protugis dan Belanda. Raja kecil yang terusir dari Riau itu, kemudian memilih pusat kekuasaannya yang baru, yaitu Siak,dan kemudian secara bertahap membangun Kesultaanan baru yaitu Kesultanan Siak (1723-1945).

Berdirinya kesultanan Siak, dengan sendirinya mengucapkan pengertian bahwa dikawasan Riau (dalam pengertian geo administrasi sekarang ini) ketika itu, ada dua pusat kekuasaan. Yaitu Riau yang berpusat di Ulu Riau dengan Sultannya Sulaiman Badrul Alamsyah, dan kedua kesultanan Siak dengan penguasanyan Raja kecil. Sekalipun dalam berbagai penulisan, selalu harus ditunjukkan bahwa hulu kedua Kesultanan ini adalah satu, yaitu Kesultanan Johor yang merupakan penerus Malaka. Oleh karenanya banyak juga yang berpendapat bahwa Imperium Melayu di kawasan Semenanjung dan tenggara Asia itu jatuh bangun selama lebih dari lima abad. Dimulai dengan kesultanan Malaka (1400-1528), dilanjutkan Johor (1528-1722), dan ditutup oleh Riau dan Siak yang berakhir tahun 1945. Bahkan mungkin lebih jika dikaitkan dengan munculnya Kesultanan Pahang yang dahulu menurunkan bagian dari wilayah Riau, dan Johor yang kemudian bangkit kembali sesudah Trakat London, 1824.

Namun demikian, dalam kaitan yang lebih khusus, apa yang disebut sebagai Kesultanan Riau itu, adalah eks Kesultanan Johor. Kalau sebelum terjadi perebutan kekuasaan antara keturunan Sultan Malaka dan keturunan Bendahara Tun Habib, Kesultanan Johor itu disebut sebagai Johor, Pahang dan Riau, sesudah perbelahan itu sebutannya menjadi Riau, Johor dan Pahang. Itu bermula dari tahun 1722 saat Sultan Sulaiman dilantik dan menjadikan Riau (dalam hal ini Riau dalam pengertian ibukota dan bukan wilayah) sebagai pusat kekuasaannya. Sementara Johor dan Pahang, keduanya dijadikan daerah pegangan yang masing-masing dikuasai oleh dua Petinggi kerajaan. Johor dibawah seorang Temenggung, dan Pahang dibawah Bendahara. Tahun 1824, wilayah kekuasaan Riau ini tinggal lagi gugusan pulau Bintan, Lingga, Batam, dan Pulau Tujuh (Natuna). Sedangkan Johor dan Pahang serta Singapura masuk wilayah semenanjung dan berdiri sendiri.

Dipandang dari segi kekuasaan dan kedaulatan sebagai sebuah kerajaan yang merdeka dan berdulat, sebenarnya Kesultanan Riau itu hanya berlangsung tak lebih dari 62 tahun (1722-1784). Sebab, dengan berakhirnya perang Riau (1782-1784) dimana Riau dikalahkan oleh Belanda, maka sejak saat itu Riau sudah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan VOC. Dalam perjanjian di atas kapal perang VOC “Utrech”, antara lain disebut bahwa Riau mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi, dan pengantian para Sultan dan Wakil Sultan Harus dengan seizin VOC. Riau ketika itu meskipun punya sultan dan perangkat pemerintahan, toh tak lebih dari sebuah koloni yang dalam pengertian kesombongan VOC disebut sebagai daerah “Anugerah sang ratu dan sebagai pinjaman”. Ketika terjadi peralihan kekuasaan antara Belanda dan Inggris akibat perang Eropa 1795, Riau sempat sekejap menjadi negeri merdeka. Ketika Inggris mengambil alih semua kekuasaan Belanda seperti Malaka, dan negeri-negeri lain di Semenanjung Malaysia, Riau, oleh Inggris dinyatakan bebas dan berarti sendiri. Tetapi akibat berbagi kelemahan pemerintahan ketika itu, Riau kembali jatuh ke dalam kencaman Belanda, 1815, ketika seluruh jajahan Belanda yang diambil alih Inggris dikembalikan.

Tenggelam
Jejak-jejak sejarah yang gelap dan saling berbaur itulah yang kemudian membuat Kesultanan Riau yang secara jelas adanya selama 189 tahun itu, seperti terlepas dari catatan sejarah. Ia seakan tenggelam dalam raupan tentang kebesaran sejarah Johor yang dianggap berlangsung dari 1528 sampai dengan tahun 1824, dan tenggelam dalam pengertian sebuah koloni jajahan Belanda (1824-1913), sebelum akhirnya dihapuskan sama sekali dari daftar administrasi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia sebagai daerah kerajaan. Ia hanya menjadi sebuah karesidenan yang kemudian menjadi teras daerah kekuasaan propinsi Riau.

Jejak-jejak sejarah yang tenggelam dalam belukar dan kemudian terus terlupakan itu, bukan cuma diterima oleh Kesultanan Riau, juga Kesultanan Siak. Dalam buku-buku sejarah nasional yang dipelajari di sekolah-sekolah tampaknyaber lawan Sultan Siak terhadap VOC di Guntung dan berhasil membantai habis satu datasemen tentara VOC, tak cukup kuat untuk dicatat. Juga dengan perang Riau 1782-1784 yang menewaskan ribuan- tentara VOC dan menenggelamkan sebuah kapal perang komando VOC “Malaka Walvaren” bersama 300 pasukannya. Padahal dalam berbagai penulisan sejarah asing, seperti buku “Jan Kompeni” (C.R. Boxer, SH-1983) perang tersebut ikut dicatat.

Anti Bugis
Usaha untuk merambas belukar sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Riau itu, bukan tak ada. Di Riau sendiri tahun 1975 sudah ada satu seminar sejarah Riau, yang kemudian tahun 1977 diikuti dengan terbitnya buku “Sejarah Riau” (Mukhtar Luthfi, dkk 1977). Tetapi buku sejarah itu ditangguhkan pengedarannya karena ada bagian isinya yang masih jadi sengketa. Sejak awal buku itu sudak dikencam sebagai kurang obyektif dan banyak mengelapkan fakta sejarah. Dalam pembicaraan tentang Kesultanan Riau misalnya, buku itu dikencam sebagai terlalu “Siak Sentris” dan terlalu “Anti Bugis”.

Peranan yang jernih dari bangsawan dan pengusaha Melayu keturunan Bulgis, disulap demikian rupa dan tenggelam oleh berbagi figur keturunan Melayu asli yang sebenarnya tidak begitu amat menonjol. Upaya untuk mengangkat figur Raja Kecik sebagi tokoh utama pemersatu kekuatan dan kekuasaan orang Melayu setelah Malaka runtuh dan Johor tumbang, membuat penulis sejarah tersebut jadi berat sebelah.

Kepincangan dalam penulisan itu, tampaknya ada kaitan dengan upaya melawan berbagai penulisan sejarah yang sudah ada, terutama hasil kerja para penulis dari Kesultanan Riau sendiri, seperti Raja Ali Hajji dengan Tuhfat Annavis, juga terhadap silsilah Melayu Bugis, yang dianggap terlalu “Bugis sentris” pula dan mengenyampingkan sama sekali hasil kecermelangan beberapa tokoh keturunan Melayu, serta serta menyudutkan figur Raja Kecik sebagai “Si Pembuat Onar”

Sayang pertemuan ilmiah yang sudah memilih aspek sejarah sebagai salah satu masalah yang jadi bahasan, tidak sempat menampilkan penulisan tentang sejarah kesultanan-kesultanan Melayu di Riau dan jernih, sehingga belukar sejarah yang sudah semak samun itu menjadi agak lebih terang. Ada beberapa makalah lain, seperti sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur (Tengku Lukman Sinar SH, Medan), tetapi amat sedikit menyentuh tentang Kesultanan Riau yang dianggap sebagai sumber pembentukan bahasa Melayu tinggi itu. (bersambung)

Paduan Budaya China – Palembang yang Diabadikan

Paduan Budaya China – Palembang yang Diabadikan
muhammad uzair – harian sindo
Keberadaan Laksamana Cheng Ho tak dipisahkan dari Palembang. Sejak melakukan pelayaran mengelilingi dunia, Cheng Ho sempat tiga kali datang ke Palembang.
SEJARAWAN Palembang Djohan Hanafiah mengatakan, Laksamana Cheng Ho pernah bertugas memburu para bajak laut Chen Tsu Ji di daerah maritim Palembang pada 1407. Kegagahan dan kebesaran Panglima Cheng Ho menumpas para bajak laut ganas melekat di hati masyarakat Palembang.
”Kendati tidak meninggalkan bekas seperti gedung atau mesjid, tetapi perkembangan Islam di Palembang, khususnya bagi para pendatang dari China, tidak bisa dipisahkan. Karena diketahui, perpaduan unsur budaya Palembang dan China cukup kental di sini,” ungkap Djohan.
Dalam penyebaran Islam di Indonesia, selain dilakukan para pedagang dari Arab dan sekitarnya, ternyata para pedagang asal Tionghoa ikut berperan menyebarkan Islam di daerah pesisir Palembang. Di sini pula peran Laksamana Cheng Ho dalam menyebarkan Islam di Palembang.
Armada Cheng Ho sebanyak 62 buah kapal dan tentara yang berjumlah 27.800 yang dipimpinnya itu pernah empat kali berlabuh di pelabuhan tua di Palembang. Pada 1407 Kota Palembang yang berada di bawah kekuasaan Sriwijaya pernah meminta bantuan armada Tiongkok yang ada di Asia Tenggara untuk menumpas perampok-perampok Tionghoa Hokkian yang mengganggu ketenteraman.
Kepala perampok Chen Tsu Ji tersebut berhasil diringkus dan dibawa ke Peking. Semenjak itu, Laksamana Cheng Ho membentuk masyarakat Tionghoa Islam di Kota Palembang yang memang sudah ada sejak zaman Sriwijaya banyak didiami orangorang Tionghoa. Gerombolan perompak yang dipimpin Chen Tsu Ji, sebenarnya bekas seorang perwira angkatan laut China asal Kanton.
Dia melarikan diri ketika Dinasti Ming berkuasa. Pelariannya berlabuh di Palembang. Kedatangannya ke Palembang telah membuat resah para pedagang yang singgah. Sebab, Chen Tsu Ji membawa ribuan pengikutnya dan membangun basis kekuasaan di Palembang, atau dalam bahasa China, po-lin-fong, yang berarti ”pelabuhan tua.”
Selama berkuasa di Palembang, Chen Tsu Ji menguasai daerah sekitar muara Sungai Musi, perairan Sungsang, dan Selat Bangka. Anak buah Chen Tsu Ji merompak semua kapal yang melintasi perairan itu. Kebetulan atau tidak, daerah-daerah itu sampai kini jadi kantung-kantung bandit Palembang.
Selama perjalanan Cheng Ho antara 1405–1433 M, dia pernah empat kali ke Palembang. Tahun 1407 masehi, armada Cheng Ho mampir ke Palembang dalam rangka menumpas perompak yang dipimpin Chen Tsui Ji tersebut. Kemudian, pada tahun 1413–1415M, 1421–1422M, dan tahun 1431–1433 M, armada Cheng Ho berlabuh ke Palembang. ”Setelah memberantas para perampok, Laksamana Cheng Ho berlabuh hingga tiga kali ke Palembang. Namun, tidak ada yang tahu maksud dan tujuannya,” jelas dia.
Menurut Djohan, tidak ada seorang pun tahu maksud kedatangan armada Cheng Ho ke Palembang seusai memberantas para perompak tersebut. Namun, para sejarawan sempat menuliskan kedatangannya yang disambut meriah para penduduk. Meskipun empat kali berlabuh, tidak satu pun jejak yang ditinggalkan Cheng Ho di Palembang.
”Kemungkinan ada peninggalan seperti manuskrip dan lainnya. Tapi tidak terdata secara signifikan,” jelas Djohan. Sejak kedatangannya itu, beberapa orang pengikut Cheng Ho akhirnya menetap di Palembang dan menyebarkan Islam. Untuk mengenang kebesaran Cheng Ho sebagai seorang muslim, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan bersama Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Sumsel membangun Masjid Islam Cheng Ho Sriwijaya di kawasan Jakabaring, Palembang.
Kenyataan tidak bisa dipungkiri, minoritas Tionghoa muslim di Sumsel kini berjumlah sekitar 4.000 orang. Sekitar 2.000 orang lebih muslim Tionghoa telah lama menetap di Palembang. Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PIPI) Sumsel Herryanto mengatakan, berlatar belakang dari konsep mempererat persaudaraan antarmuslim dalam naungan ukhuwah Islamiah serta mengenang jasa Laksamana Cheng Ho itulah Masjid tersebut diberi nama Muhammad Cheng Ho.
”Islam tidak mengenal perbedaan budaya, ras, dan warna kulit. Hal itu telah dipraktikkan Cheng Ho dalam kehidupannya,” kata Herryanto. Semangat dakwah Islamiah itu juga akan diwujudkan dalam bentuk pusat belajar empat bahasa, yakni bahasa Indonesia, Inggris, Mandarin, dan bahasa Arab di masjid tersebut.
”Kita semua tahu keteladanan hidup seorang Laksamana Cheng Ho. Dia orang besar yang telah memberi inspirasi bagi para muslim untuk terus mengembangkan semangat dakwah Islamiah,” kata Herryanto. Pembangunan masjid baru 80%, dan masih membutuhkan dana yang cukup besar untuk menyelesaikannya. Masjid Muhammad Cheng Ho dapat menjadi sebuah simbol persatuan dan persaudaraan muslim di Palembang. (uzair/sindo)

Kamis, 17 November 2011

Upacara Pernikahan Adat Masyarakat Pepaduan, Lampung

Pernikahan merupakan fitrah manusia yang merupakan anugerah dari Allah. Puncak wujud cinta dari dua insan yang berlainan jenis yang saling mencintai. Tujuan dari pernikahan diantaranya menyempurnakan separuh agama, sunah rosul, pemenuhan kebutuhan lahir dan batin dan menlestarikan keturunan. Pernikahan tak lepas dari hal manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa sendirian dan selalu membutuhkan orang lain. Begitu juga dengan masyarakat Lampung Timur yang memandang pernikahan adalah peristiwa sakral. Peristiwa yang menyatukan dua manusia dan dihalalkannya hal-hal yang sebelumnya haram antar lawan jenis.
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan tradisi yang berbeda-beda dari berbagai suku bangsa. Masing-masing suku bangsa memiliki kekhasan masing-masing yang merupakan warisan dari leluhur yang mengandung nilai-nilai luhur. Upacara adat pernikahan adalah salah satu tradisi yang memiliki kekhasan di tiap suku bangsa.
Perkawinan merupakan realisasi cinta tertinggi bagi insan yang saling mencintai untuk bersatu. Berawal dari ketertarikan lalu tumbuhlah menjadi cinta. Sudah menjadi fitrah dan hukum alam manusia diciptakan berpasang-pasangan. Dari pernikahan inilah jadilah keluarga. Mendapatkan keturunan dan menjadi keluarga yang sakinah warahmah adalah cita-cita bagi setiap pasangan suami istri.
Pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan berlainan jenis, akan tetapi juga merupakan penyatuan dua keluarga. Itulah mengapa dalam upacara pernikahan melibatkan keluarga dan kerabat. Semua orang pasti mengharapkan pernikahan yang sah, direstui orang tua, sesuai aturan adat terlebih aturan agama.
Tiap-tiap daerah memiliki tata cara tersendiri dalam melangsungkan upacara pernikahan. Menurut masyarakat Lampung, idealnya pernikahan dilakukan oleh sesama umat Islam dan bersuku bangsa Lampung. Adat istiadat masyarakat Lampung dibedakan kedalam dua golongan adat yaitu Pepaduan dan Peminggir. Adat istiadat Pepaduan dipakai oleh orang Lampung yang tinggal di kawasan Abung, Way Kanan / Sangkai, Tulang bawang & Pubian bagian pedalaman. Orang pepaduan juga mengenal tingkatan sastra social dalam masyarakatnya. Hal ini bias dilihat dari berbagai atribut, misalnya golongan bangsawanmembawa keris sebagai tanda mereka menyandang gelar kehormatan yang tidak dimiliki oleh kalangan masyarakat biasa. Perbedaan antara kalangan bangsawan dan rakyat biasa juga dapat dilihat dalam penyelenggaraan upacara perkawinan yang disebut begawei atau cacak Pepaduan. Masyarakat Pepaduan juga melarang perkawinan diantara orang-orang yang dianggap tidak sederajat sebab hal ini dapat dianggap sebagai aib jika tetap dilaksanakan. Orang yang berbeda di lapisan atas akan turun derajatnya mengikuti pasangannya yang memiliki status lebih rendah.
Tetapi untuk masa sekarang ini, pelapisan social seperti tadi lebih di pengaruhi oleh factor senioritas, umur, pendidikan, segi materi atau ketaatan seseorang pada agamanya.
Ada beberapa bentuk perkawinan menurut masyarakat Pepaduan, di antaranya :
1.      Bentuk kawin jujur. Dasar pemikiran tersebut lebih menekankan pada tanggung jawab pihak laki-lakidan menempatkan posisi keturunan (anak) dengan garis keturunan. Ciri utama perkawinan jujur adalah pihak laki-laki menyerahkan sejumlah uang jujur “segheh/segoh”, yang bermakna sebagai pengganti pemutusan hubungan sang wanita dengan keluarganya. Dia masuk ke dalam keluarga suami atau keluarga laki-laki yang umumnya terdiri atas nilai 6, 12, 24 bergantung pada status anak gadis dan keluarganya. Konsekuensi bentuk perkawinan ini, sang istri putus hubungan dengan keluarganya dan tinggal di rumah laki-laki (keluarga laki-laki), Keturunan atau anak akan mengikuti garis keturunan melalui garis ayah.
2.      Bentuk perkawinan “semanda”  yang merupakan kebalikan dari kawin jujur. Dalam hal ini, suami masuk ke dalam kelompok keluarga istri dan putus jurainya dan keluarganya. Keturunan ditarik melalui garis ibu.
3.      Perkawinan pineng ngerabung sanggar. Pada prinsipnya perkawinan ini harus melakukan upacara “gawi di tempat gadis, dan “bergawi” di tempat bujang, dan kedua belah pihak harus memotong kerbau atau sapi. Setelah ada kesepakatan antara pihak keluarga bujang dan gadis tentang tanggal pernikahan dan hari yang pasti, karena gadis melakukan musyawarah keluarga besar beserta kerabatnya. Selanjutnya, keluarga dan atau penyimbang gadis menyampaikan maksud dan tujuan untuk melakukan acara pernikahan pineng ngerbung sanggar, kepada ketua adat, yakni penyeimbang adat kampung. Selain itu, pihak keluarga membentuk kepanitian dengan sebutan memattuan, yaitu pembentukan personalia pelaksanaan dan pengatur gawi (panitia gawi) dan pembahasan silsilah keluarga yang mengadakan gawi.
Keputusan musyawarah (perawitan) secara lengkap dilaporkan kepada keluarga yang bergawi melaui lalang, Yang datang biasanya terdiri dari 2 orang penyeimbang yang berstatus sebagai penghubung. Apabila laporan musyawarah dapat disetujui oleh keluarga,acara gawi dapat dilanjutkan pada hari yang telah ditentukan. Pelaksanaan guraw tarei (acara gawi) maknanya adalah visualisasi dari segala sesuatu yang telah disepakati dalam musyawarah perawitan adar kampung. Secara umum lancarnya tahap demi tahap acara gawi sepenuhnya dikendalikan oleh penglaku tuho.
Pelaksanaan guraw tarei ini melalui beberapa tahap acara, di antaranya ngekuruk temui (menjemput tamu), cangget pilangan, temew ditunjuj, patcah aji (nikah menurut adat kampung), dan bebekas (ngettarken) pelepasan mempelai wanita (dilakukan serah terima gadis kepada keluarga bujang).
Penentuan pasangan dalam sebuah perkawinan, idealnya berasal dari kelompok kekerabatan atau marganya. Jika di kemudian hari muncul kesadaran untuk kembali lagi ke lingkungan kerabatnya, ia harus menebusnya dengan menyembelih kerbau. Baru kemudian secara adat dia diterima kembali sebagai komunitas adatnya

Rangkaian Prosesi Pernikahan
Nindai / Nyubuk
Ini merupakan proses dimana pihak keluarga calon pengantin pria akan meneliti atau menilai apakah calon istri anaknya. Yang dinilai adalah dari segi fisik & perilaku sang gadis. Pada Zaman dulu saat upacara begawei (cacak pepaduan) akan dilakukan acara cangget pilangan yaitu sang gadis diwajibkan mengenakan pakaian adat & keluarga calon pengantin pria akan melakuakn nyubuk / nindai yang diadakan di balai adat.
Be Ulih – ulihan (bertanya)
Apabila proses nindai telah selesai dan keluarga calon pengantin pria berkenan terhadap sang gadis maka calon pengantin pria akan mengajukan pertanyaan apakah gadis tersebut sudah ada yang punya atau belum, termasuk bagaimana dengan bebet, bobot, bibitnya. Jika dirasakan sudah cocok maka keduanya akan melakukan proses pendekatan lebih lanjut.
Bekado
Yaitu proses dimana keluarga calon pengantin pria pada hari yang telah disepakati mendatangi kediaman calon pengantin wanita sambil membawa berbagai jenis makanan & minuman untuk mengutarakan isi hati & keinginan pihak keluarga.
Nunang (melamar)
Pada hari yang disepakati kedua belah pihak, calon pengantin pria datang melamar dengan membawa berbagai barang bawaan secara adat berupa makanan, aneka macam kue, dodol, alat untuk merokok, peralatan nyireh ugay cambia (sirih pinang). Jumlah dalam satu macam barang bawaan akan disesuaikan dengan status calon pengantin pria berdasarkan tingkatan marga (bernilai 24), tiyuh (bernilai 12), dan suku (berniali 6). Dalam kunjungan ini akan disampaikan maksud keluarga untuk meminang anak gadis tersebut.

Rabu, 09 November 2011

Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan perayaan. Di Provinsi Aceh terdapat empat suku utama yaitu:
Suku Aceh merupakan kelompok mayoritas yang mendiami kawasan pesisir Aceh. Orang Aceh yang mendiami kawasan Aceh Barat dan Aceh Selatan terdapat sedikit perbedaan kultural yang nampak nya banyak dipengaruhi oleh gaya kebudayaan Minangkabau. Hal ini mungkin karena nenek moyang mereka yang pernah bertugas diwilayah itu ketika berada di bawah protektorat kerajaan Aceh tempo dulu dan mereka berasimilasi dengan penduduk disana.
Suku Gayo dan Alas merupakan suku minoritas yang mendiami dataran tinggi di kawasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Kedua suku ini juga bersifat patriakhat dan pemeluk agama Islam yang kuat.
Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra, nyanyian, arian, musik dan adat istiadat.
Kebudayaan Aceh sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Tarian, kerajinan, ragam hias, adat istiadat, dan lain-lain semuanya berakar pada nilai-nilai keislaman. Contoh ragam hias Aceh misalnya, banyak mengambil bentuk tumbuhan seperti batang, daun, dan bunga atau bentuk obyek alam seperti awan, bulan, bintang, ombak, dan lain sebagainya. Hal ini karena menurut ajaran Islam tidak dibenarkan menampilkan bentuk manusia atau binatang sebagai ragam hias.
Aceh sangat lama terlibat perang dan memberikan dampak amat buruk bagi keberadaan kebudayaannya. Banyak bagian kebudayaan yang telah dilupakan dan benda-benda kerajinan yang bermutu tinggi jadi berkurang atau hilang.

Senjata Tradisional Indonesia

Daftar Senjata Tradisional Indonesia
Berikut ini nama – nama senjata tradisional dari berbagai daerah di Indonesia. Mungkin tulisan ini dapat sedikit membantu meskipun mungkin ada dari beberapa propinsi yang kurang lengkap dan sebagainya, sumber – sumber literatur sedang di gali lagi sehingga lebih lengkap.
  • Senjata Tradisional dari Provinsi DI Aceh – Nanggro Aceh Darussalam adalah Rencong
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Sumatera Utara – Sumut adalah Piso Surit, Piso Gaja Dompak
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Sumatera Barat – Sumbar adalah Karih, Ruduih, Piarit
  • Senjata Tradisional dari  Provinsi Riau adalah Pedang JenaWi, Badik Tumbuk Lado
  • Senjata Tradisional dari  Provinsi Jambi adalah Badik Tumbuk Lada
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Sumatera Selatan – Sumsel adalah Tombak Trisula
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Lampung adalah Terapang, Pehduk Payan
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Bengkulu adalah Kuduk, Badik, Rudus
  • Senjata Tradisional dari Provinsi DKI Jakarta adalah Badik, Parang, Golok
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Jawa Barat – Jabar adalah Kujang
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Jawa Tengah – Jateng adalah Keris
  • Senjata Tradisional dari Provinsi DI Yogyakarta – Jogja – Jogjakarta adalah Keris Jogja
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Jawa Timur – Jatim adalah Clurit
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Bali adalah Keris
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Nusa Tenggara Barat – NTB adalah Keris, Sampari, Sondi
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Nusa Tenggara Timur – NTT adalah Sundu
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Kalimantan Barat – Kalbar adalah Mandau
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Kalimantan Tengah – Kalteng adalah Mandau, Lunjuk Sumpit Randu
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Kalimantan Selatan – Kalsel adalah Keris, Bujak Beliung
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Kalimantan Timur – Kaltim adalah Mandau
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Sulawesi Utara – Sulut adalah Keris, Peda, Sabel
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Sulawesi Tengah – Sulteng adalah Pasatimpo
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Sulawesi Tenggara – Sultra adalah Keris
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Sulawesi Selatan – Sulsel adalah Badik
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Maluku adalah Parang Salawaki / Salawaku, Kalawai
  • Senjata Tradisional dari Provinsi Irian Jaya – Papua adalah Pisau Belati
Dewasa ini adat istiadat dan kebudayaan khasanah bangsa Indonesia kurang mendapat tempat di kalangan kaum muda, disisi lain negeri tentangga suka jiplak menjiplak budaya kita , ironis memang !!!

Daftar Nama Lagu Daerah Indonesia :

Lagu Ampar-Ampar Pisang berasal dari daerah provinsi Kalimantan Selatan
Lagu Anak Kambing Saya berasal dari daerah provinsi NTT
Lagu Angin Mamiri berasal dari daerah provinsi Sulawesi Selatan
Lagu Anju Ahu berasal dari daerah provinsi Sumatra Utara
Lagu Apuse berasal dari daerah provinsi Papua
Lagu Ayam Den Lapeh berasal dari daerah provinsi Sumatra Barat
Lagu Barek Solok berasal dari daerah provinsi Sumatra Barat
Lagu Batanghari berasal dari daerah provinsi Jambi
Lagu Bolelebo berasal dari daerah provinsi Nusa Tenggara Barat
Lagu Bubuy Bulan berasal dari daerah provinsi Jawa Barat
Lagu Bungong Jeumpa berasal dari daerah provinsi NAD
Lagu Burung Tantina berasal dari daerah provinsi Maluku
Lagu Butet berasal dari daerah provinsi Sumatra Utara
Lagu Cik-Cik Periuk berasal dari daerah provinsi Kalimantan Barat
Lagu Cing Cangkeling berasal dari daerah provinsi Jawa Barat
Lagu Dago Inang Sarge berasal dari daerah provinsi Sumatra Utara
Lagu Dayung Palinggam berasal dari daerah provinsi Sumatra Barat
Lagu Dek Sangke berasal dari daerah provinsi Sumatra Selatan
Lagu Desaku berasal dari daerah provinsi NTT
Lagu Esa Mokan berasal dari daerah provinsi Sulawesi Utara
Lagu Gambang Suling berasal dari daerah provinsi Jawa Tengah
Lagu Gek Kepriye berasal dari daerah provinsi Jawa Tengah
Lagu Goro-Gorone berasal dari daerah provinsi Maluku
Lagu Gundul Pacul berasal dari daerah provinsi Jawa Tengah
Lagu Haleleu Ala De Teang berasal dari daerah provinsi NTB
Lagu Fluhatee berasal dari daerah provinsi Maluku
Lagu llir-llir berasal dari daerah provinsi Jawa Tengah
Lagu Indung-Indung berasal dari daerah provinsi Kalimantan Timur
Lagu Injit-Injit Semut berasal dari daerah provinsi Jambi
Lagu Jali-Jali berasal dari daerah provinsi DKI Jakarta
Lagu Jamuran berasal dari daerah provinsi Jawa Tengah
Lagu Kabile-bile berasal dari daerah provinsi Sumatra Selatan
Lagu Kalayar berasal dari daerah provinsi Kalimatan Tengah
Lagu Kambanglah Bungo berasal dari daerah provinsi Sumatra Barat
Lagu Kampung nan Jauh Di Mato berasal dari daerah provinsi Sumatra Barat
Lagu Ka Parak Tingga berasal dari daerah provinsi Sumatra Barat
Lagu Keraban Sape berasal dari daerah provinsi Jawa Timur
Lagu Keroncong Kemayoran berasal dari daerah provinsi DKI Jakarta
Lagu Kicir-Kicir berasal dari daerah provinsi DKI Jakarta
Lagu Kole-Kole berasal dari daerah provinsi Maluku
Lagu Lalan Belek berasal dari daerah provinsi Bengkulu
Lagu Lembah Alas berasal dari daerah provinsi NAD
Lagu Lipang Lipangdang berasal dari daerah provinsi Lampung
Lagu Lisoi berasal dari daerah provinsi Sumatra Utara
Lagu Macep-cepetan berasal dari daerah provinsi Bali
Lagu Madedek Magambiri berasal dari daerah provinsi Sumatra Utara
Lagu Malam Baiko berasal dari daerah provinsi Sumatra Barat
Lagu Mande-Mande berasal dari daerah provinsi Maluku
Lagu Manuk Dadali berasal dari daerah provinsi Jawa Barat
Lagu Ma Rencong berasal dari daerah provinsi Sulawesi Selatan
Lagu Mejangeran berasal dari daerah provinsi Baii
Lagu Meriam Tomong berasal dari daerah provinsi Sumatra Utara
Lagu Meyong-Meyong berasal dari daerah provinsi Bali
Lagu Moree berasal dari daerah provinsi NTB
Lagu Na Sonang Dohita Nadua berasal dari daerah provinsi Sumatra Utara
Lagu Ngusak Asik berasal dari daerah provinsi Bali
Lagu Nuluya berasal dari daerah provinsi Kalimantan Tengah
Lagu 0 Ina Ni Keke berasal dari daerah provinsi Sulawesi Utara
Lagu Ole Sioh berasal dari daerah provinsi Maluku
Lagu 0 Re Re berasal dari daerah provinsi NTB
Lagu Orlen-Orlen berasal dari daerah provinsi NTB
Lagu 0 Ulate berasal dari daerah provinsi Maluku
Lagu Pai Mura Rame berasal dari daerah provinsi NTB
Lagu Pakarena berasal dari daerah provinsi Sulawesi Selatan
Lagu Palu Lempong Pupoi berasal dari daerah provinsi Kalimantan Tengah
Lagu Panon Hideung berasal dari daerah provinsi Jawa Barat
Lagu Paris Barantai berasal dari daerah provinsi Kalimantan Selatan
Lagu Peia Tawa-Tawa berasal dari daerah provinsi Sulawesi Tenggara
Lagu Pileuleuyan berasal dari daerah provinsi Jawa Barat
Lagu Pinang Muda berasal dari daerah provinsi Jambi
Lagu Pitik Tukung berasal dari daerah provinsi DI Yogyakarta
Lagu Potong Bebek berasal dari daerah provinsi NTT
Lagu Putri Ayu berasal dari daerah provinsi Bali
Lagu Rambadia berasal dari daerah provinsi Sumatra Utara
Lagu Rang Talu berasal dari daerah provinsi Sumatra Barat
Lagu Rasa Sayang-Sayange berasal dari daerah provinsi Maluku
Lagu Ratu Anom berasal dari daerah provinsi Bali
Lagu Saputanga Bapuncu Ampat berasal dari daerah provinsi Kalimantan Selatan
Lagu Sarinande berasal dari daerah provinsi Maluku
Lagu Selendang Mayang berasal dari daerah provinsi Jambi
Lagu Sengko-Sengko berasal dari daerah provinsi Sumatra Utara
Lagu Sepakat Segenap berasal dari daerah provinsi DI Aceh
Lagu Sinanggar Tulo berasal dari daerah provinsi Sumatera Utara
Lagu Sing Sing So berasal dari daerah provinsi Sumatra Utara
Lagu Sinom berasal dari daerah provinsi DI Yogyakarta
Lagu Sipatokahan berasal dari daerah provinsi Sulawesi Utara
Lagu Sitara Tillo berasal dari daerah provinsi Sulawesi Utara
Lagu Soleram berasal dari daerah provinsi Riau
Lagu Surilang berasal dari daerah provinsi DKI Jakarta
Lagu Suwe Ora Jamu berasal dari daerah provinsi DI Yogyakarta
Lagu Tahanusangkara berasal dari daerah provinsi Sulawesi Utara
Lagu Tanduk Majeng berasal dari daerah provinsi Jawa Timur
Lagu Tanase berasal dari daerah provinsi Maluku
Lagu Tari Tanggai berasal dari daerah provinsi Sumatra Selatan
Lagu Tebe O Nana berasal dari daerah provinsi NTB
Lagu Tekate Dipanah berasal dari daerah provinsi DI Yogyakarta
Lagu Tokecang berasal dari daerah provinsi Jawa Barat
Lagu Tondok Kadindangku berasal dari daerah provinsi Sulawesi Tengah
Lagu Tope Gugu berasal dari daerah provinsi SulawesiTengah
Lagu Tumpi Wayu berasal dari daerah provinsi KalimantanTengah
Lagu Tutu Koda berasal dari daerah provinsi NTB
Lagu Yamko Rambe Yamko berasal dari daerah provinsi Papua

BUDAYA KALIMANTAN BARAT

Kalimantan barat semua pasti sudah tahu letaknay ada di kalimantan bagian barat, provinsi ini mempunyai kebudayaan yang unik karena berbatasan langsung dengan negara tetangga disini akan kita lihat ada berbagai budaya yang ada di kalimantan barat ada budaya dayak yang eksotis dan magis.

Budaya yang unik dari pakain adat sampai tariannya juga kehidupan masyarakatnya yang menyatu dengan alam sungguh budaya yang tiada duanya, ada juga budaya melayu yang unik juga disini ada juga budaya tionghoa tepatnya di kota singkawang yang sudah menjadi bagian dari kalimantan barat, inilah beberapa foto budaya kalimantan barat budaya bumi borneo sebutan untuk pulau kalimantan
TARI AJAT TEMUAI DATAI
tari perang
Dayak Kalbar costume
dayak
budaya dayak kalbar
budaya dayak
dayak kalbar
tarian dayak
alat musik suku dayak
pakain adat
budaya melayu yang ada di kalimantan barat
budaya melayu kalbar

istana kerajaan sangau

budaya ondel-ondel khas betawi



Ondel-ondel merupakan hasil dari kebudayaan Betawi yang berupa boneka besar yang tingginya mencapai sekitar ± 2,5 m dengan garis tengah ± 80 cm, boneka ini dibuat dari anyaman bambu yang dibuat agar dapat dipikul dari dalam oleh orang yang membawanya. Boneka tersebut dipakai dan dimainkan oleh orang yang membawanya. Pada wajahnya berupa topeng atau kedok yang dipakaikan ke anyaman bamboo tersebut, dengan kepala yang diberi rambut dibuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki biasanya di cat dengan warna merah, sedangkan yang perempuan dicat dengan warna putih.
Jenis pertunjukan ini diduga sudah ada sebelum tersebarnya agama Islam di pulau Jawa dan juga terdapat di berbagai daerah dengan pertunjukkan yang sejenis. Di Pasundan dikenal dengan sebutan Badawang, di Jawa Tengah disebut Barongan Buncis, sedangkan di Bali dikenal dengan nama Barong Landung.
Awal mulanya pertunjukan ondel-ondel ini berfungsi sebagai penolak bala dari gangguan roh halus yang mengganggu. Namun semakin lama tradisi tersebut berubah menjadi hal yang sangat bagus untuk dipertontonkan, dan kebanyakan acara tersebut kini di adakan pada acara penyambutan tamu terhormat, dan untuk menyemarakkan pesta-pesta rakyat serta peresmian gedung yang baru selesai dibangun.
Disamping untuk memeriahkan arak-arakan pada masa yang lalu biasa pula mengadakan pertunjukan keliling, “Ngamen”. Terutama pada perayaan-perayaan Tahun Baru, baik masehi maupun Imlek. Sasaran pada perayaan Tahun Baru Masehi daerah Menteng, yang banyak dihuni orang-orang Kristen.Pendukung utama kesenian ondel-ondel petani yang termasuk “abangan”, khususnya yang terdapat di daerah pinggiran kota Jakarta dan sekitarnya.
Musik yang mengiringi ondel-ondel tidak tertentu, tergantug dari asing-masing rombongan. Ada yang diiringi tanjidor, seperti rombongan ondel-ondel pimpian Gejen, kampong setu. Ada yang diiringi dengan pencak Betawi seperti rombongan “Beringin Sakti” pimpinan Duloh, sekarag pimpinan Yasin, dari Rawasari. Adapula yang diirig Bende, “Kemes”, Ningnong dan Rebana ketimpring, seperti rombogan ondel-ondel pimpinan Lamoh, Kalideres. Ondel-ondel betawi tersebut pada dasarnya masih tetap bertahan dan menjadi penghias di wajah kota metropolitan Jakarta.

keraton YOGYAKARTA




Karaton YOGYAKARTA
It is located in the center of the city of Yogyakarta or just Yogya as the local people call it. Karaton means a place where the Ratu-king lives, other word is Kedaton, with the same meaning. In the Javanese teachings, it has a deep philosophical meaning.
The architect designer of this palace was Sultan Hamengkubuwono I himself, who was also the founder of the kingdom of NGAYOGYAKARTA HADININGRAT. His skill in architecture was appreciated by the dutch scientist - DR. Pigeund and DR. Adam who adored him as " the architect of his brother-Pakubuwono II of Surakarta".
The first king moved to his huge and magnificent Karaton on October 7, 1756. Although there are some European style of some parts of the building, structurally this is the vivid example of Javanese palace architecture.
The 14.000 sq. m of the Karaton Yogya has deep philosophical meaning with all its building, courts, carving, trees, and location. This is a Karaton full of significant symbols of human life.
Usually visitors are coming from MALIOBORO STREET, southward through the Alun-alun (north square). In order to understand perfectly well the symbolic meaning of the Karaton, one should walk from south to north. Start from Krapyak, a village of about 3 km south of Karaton.
SKETCH






1. In the old days, Krapyak was a raised brick-stage, used by the sultans to watch his families and soldiers to hunting deers. Krapyak is located nearby small village, Mijen - from the word wiji means seed, symbolizing life, soul of human beings.[back to sketch]
2. Walk northward, through a straight street where on left and right sides grow the trees of asem becomes sengsem means adorable and tanjung becomes disanjung means cared. This is symbolizing life of child in a good path : adored and cared by the parents.
3. Arrive at the main entrance (Plengkung) gading depicting the child has become a teenager, adorable and neatly make-up.
[back to sketch]
4. At the south square (Alun-alun) in the southern part there are two waringin (banyan) trees. The name of the trees are WOK abbreviation from the word BEWOK means beard. In the middle of this south square, there are two other waringin trees the name are Supit Urang meaning chopsticks of a shrimp, surrounded by fence in the form of archer's bow, symbolizing the sacred part of human body. So it must be protected (in the fence). The fence's bow form is characteristic of a girl and boy.[back to sketch]
5. Look around the south square, there are five streets entering the square, imagining of five human sense. The square is covered by sands, it means that human life has not been arranged. Other trees grow there namely kweni become wani (courage) and pakel (adult), meaning the child has become an adult who has courage to choose the partner.[back to sketch]
6. Further north, it is the Siti Hinggil (elevated land), surrounded by gayam trees, symbolizing the youngsters feeling in love, safe and happy. In the middle of Siti Hinggil (a large open veranda), there is a Selo Gilang (a square elevated stone), where the Sultan sit when receiving visitors from relatives or subordinates. In that case, describing a wedding-chair where the young couples sit side by side.
The trees planted here are :
  • Mangga Cempora, mangga is javanese language for please ; cempora describes mix.
  • Soka, imagining pleasure.
Both trees have plenty of red and white colors (symbolizing woman and man sperm). All these are symbols of a marriage of young adult couple, in a safe, pleasant and lovable atmosphere, they should make love to produce human beings.[back to sketch]
7. In the left and right side of Siti Hinggil there are bathroom. The Siti Hinggil surrounded by a street name Pamengkang, showing the positon when someone is sitting or lying with separated legs.[back to sketch]
8. Go further north, there is a yard named : Kemandungan, from the word kandung (pregnant) and the four trees planted here are :
  • Pelem becomes gelem, that is the wish comes from both side.
  • Kepel becomes kempel, unite mentally and physically.
  • Jambu Dersono, dersono describing to be loved by other people.
  • Cengkir Gading, a small yellowish coconut tree. The coconut used in the ceremony when a mother is seven month pregnant.
In the left and right side at this yard, there are street aiming to go out side, this is imagining the negative influences which could occur during the growth of the baby in his mother womb.[back to sketch]
9. Now, passing the Regol (gate) Gadungmlati, arrive in Kemagangan. The road is narrow in the beginning and then becomes wider and brighter. That means the baby is safely born, growing to be a man facing his future life. There are kitchen in this premises, named gebulen and sekullangen, describing that for the child's growth there are available a lot of food. The street on the left and right side of the premises are reflecting, the negative factors which could influence the child life. The child must be educated properly, to the right paths, to the north, to the Karaton, where the Sultan lives doing his duties. In Karaton he could attain his goals of life, therefore he has to work diligently, with good and correct manner, faithful not to break the rules. He must also always remember and serve to God almighty.[back to sketch]
10.
In Karaton one has to follow the steps taken by the Sultan or Sri Sultan (the title is usually called by Yogyanese) before and after the ceremony of Grebeg in the north of Siti Hinggil (organized three times in a year, explaination of Grebeg follows in other articles). Sri Sultan steps out from Sri Manganti gate, facing the bangsal (hall) Ponconiti, ponco means five senses ; niti means to inspect. The yard is called Kamandungan (collect), planted with trees of Tanjung, Kepel (unite), Cengkir Gading - yellow coconut (the holy color of God). That's mean that Sri Sultan has to concentrate his five senses and mind because he is going to worship the holy God.[back to sketch]
Sri Sultan Hamengkubuwono IX
11. He is entering the gate (Regol) Brojonolo (brojo means weapon; nala means heart) and sees a stone wall. "Renteng mentog baturana" (renteng means worry; baturana means stone divider) which describes that Sri Sultan should not be worried to implement a just government. There is a tree - Jambu Tlampok Arum (Arum means fragrant), meaning "Speak always nicely, so your name will be famous all over the world".
[back to sketch]
12. Sri Sultan is now in North of Siti Hinggil, in the south, four trees of kemuning (ning - clear), then he steps to bangsal Witono (a seat in heaven) could also means begin. That is imagining "clear your thoughts and begin to pray".[back to sketch]
13. The place have to be arranged by two subordinates by names of Wignya (clever), and Derma (destiny), symbolizing " You should be clever to sit in your throne as you are destined to represent God Almighty to rule your people".
14. Bangsal (hall) Manguntur Tangkil : a high place to worship God. The Bangsal Manguntur Tangkil is located inside the Bangsal Witono, this is describing that inside the body, there is soul or life spirit. Sri Sultan is ready to meditate (samadi) the gamelan (Javanese musical instruments) by the name Kyai Monggang is played slowly and rhythmically following his breathing in meditation. The meditator has to arrange his breathing and concentrate solemnly by closing the nine holes of his body.[back to sketch]
15. In front of Siti Hinggil, there are Tarub Ageng (great, glory) and pagelaran, in the old days it was a place for the Patih (king's chief-minister) and other subordinates to wait before meeting Sri Sultan for audience. Gelar here means bright. That's describing that anybody who is meditating, submitting his/her life totally to the hands of God is in a great and bright path, as a gift from God.[back to sketch]
16. Alun-alun (the North Square) with the two waringin trees are a comparison with someone's experience in samadi. He/she is feeling calmly and happily, as if he/she is a twin, microcosmos unite macrocosmos. He /she has to go on with the samadi, avoiding temptations.[back to sketch]
17. Go further north, there are :
Beringharjo Market :
symbolizing temptations and obstacles during samadi, in the market there are plenty of delicious foods, jewels, luxurious things, beautiful women and handsome men.
Kepatihan :
is the office of the patih, the sultan's chief-officer. It's a place where power is executed ; rank, promotion of officers are decided and finance is arranged.
Tugu :
Pillar, symbolizing the acceptance of samadi. If the meditator could reach tugu safely, he could reject the temptations of usual world desire and lust. Such as material wealth, high ranking position, delicious foods and drinks, a lust toward opposite sex and more over he/she always does good and correct thinking and conducts, by God blessing, the meditator could attain his goal in samadi, the Javanese says : in a position of "Manunggaling kawulo Gusti", manunggal means unity; kawulo means servant, human beings; Gusti means God. So, manunggaling kawulo Gusti means "The spiritual unity of the man and God, the creature and creator". Everything could be happened by the wish of God Almighty.
[back to sketch]
18. The above explains the philosophical meaning of Karaton Yogyakarta. It is worth to note that daily situation in the Karaton is alive. The Karaton is attended by dignified and elderly retainers wearing traditional Javanese dress.
19. Now Sri Sultan is heading back to the palace, through Kemandungan yard, where some keben (shut) trees grow, meaning 'shut your eyes and ears, as you should be ready to go to die (to another world).
20. He is greeted by his wife and children, and two young ministers in Sri Manganti Hall, offering some drinks. This is depicting two angels are ready to show him the way as in accordance with Al-Qur'an.[back to sketch]
21. Bangsal Trajumas which stands in front of Sri Manganti, means "You must know what is right and wrong. Don't think anymore of anything in this earth, your wife and family, you are leaving them".[back to sketch]
22. In the south, there is a building called 'Purworetno' meaning "We must always remember where do we come from".[back to sketch]
23. He passes the gate Donopratopo, means "A good man always gives something to others voluntarily and he is able to erase lust".
24. The two statues of giants, the one has a good manner, the second is a bad giant. Showing "You must be able to differentiate, God and evil".
25. Sri Sultan goes to Bangsal Kencono (Golden Pavilion), describing the unity of human beings and God.[back to sketch]
26. Then, he enters the pavilion Praba Yeksa. Praba means light, bright. Yeksa means big. In this pavilion there is a lamp which is always burning. According to ancient belief, the travel to eternal life is following a light.[back to sketch]
27. Next to Prabayekso is gedong Kuning (yellow house), symbolizing the home of the peaceful spirits in heaven.[back to sketch]

Gedong Kuning

MUSEUM
Inside the Karaton, there is a museum dedicated to the late Sultan Hamengkubuwono IX, the father of the present Sultan Hamengkubuwono X. Sultan Hamengkubuwono IX was a famous political figure and leader in Indonesia. His support and contribution for the Republic of Indonesia to gain independence are sincerely respected and recognized by almost every citizen.
Yogyakarta was temporary capital of Indonesia (1946-1949) and by law is granted the status of special region equals to province. The museum exhibit gilt copies of sacred Pusaka (the heirlooms), gifts from foreign monarchs, gamelan, royal carriages and some photos of the royal families and family tree.
There is a special pavillion dedicated to the active participation of Sri Sultan Hamengkubuwono IX for the struggle of Indonesia's independence.
Besides his position as a traditional leader as the Sultan of Ngayogyakarta Hadiningrat, he was also appointed as the Governor of Yogyakarta Special Region for life by the President of RI.

The Present Governor of Yogyakarta Special Region
The present Sultan Hamengkubuwono X, has been inaugurated in October 3, 1998 as the Governor of Yogyakarta Special Region upon request by the people of Yogyakarta. It is a sign of appreciation for his dedication to the people and the country. In the recently difficult period, Sri Sultan Hamengkubuwono X, has emerged as one of the national trustworthy leaders for peaceful reformation.

Arts, Cultures, Rituals and Other Information of Karaton Yogyakarta

REOG PONOROGO dan WAROK

Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok Warok dan Gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat Reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu bukti budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.
REOG PONOROGO dan WAROK
Sejarah Reog Ponorogo

Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir.

Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.


Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya.

Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya.

Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan 'kerasukan' saat mementaskan tariannya.


Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
REOG PONOROGO dan WAROK
Warok

Warok sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Seorang warok konon harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.  

Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara kebaikan dan kejahatan dalam cerita kesenian reog. Warok Tua adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Hingga saat ini, Warok dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok. Warok adalah sosok dengan stereotip: memakai kolor, berpakaian hitam-hitam, memiliki kesaktian dan gemblakan.Menurut sesepuh warok, Kasni Gunopati atau yang dikenal Mbah Wo Kucing, warok bukanlah seorang yang takabur karena kekuatan yang dimilikinya.

Warok adalah orang yang mempunyai tekad suci, siap memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. “Warok itu berasal dari kata wewarah. Warok adalah wong kang sugih wewarah. Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik”.“Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa” (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).


Syarat menjadi Warok

Warok harus menjalankan laku. “Syaratnya, tubuh harus bersih karena akan diisi. Warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan lainnya, seorang calon warok harus menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5 meter, tikar pandan, dan selamatan bersama. Setelah itu, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok.

Warok sejati pada masa sekarang hanya menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok warok di daerah-daerah tertentu masih ada yang memegang teguh budaya mereka dan masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan kadang para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.
REOG PONOROGO dan WAROK
Gemblakan

Selain segala persyaratan yang harus dijalani oleh para warok tersebut, selanjutnya muncul disebut dengan Gemblakan.Dahulu warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yaitu lelaki belasan tahun usia 12-15 tahun berparas tampan dan terawat yang dipelihara sebagai kelangenan, yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reog. Bagi seorang warok hal tersebut adalah hal yang wajar dan diterima masyarakat. Konon sesama warok pernah beradu kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak idaman dan selain itu kadang terjadi pinjam meminjam gemblak.

Biaya yang dikeluarkan warok untuk seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka warok yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping memberinya makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah maka setiap tahun warok memberikannya seekor sapi.Dalam tradisi yang dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Hal itu konon merupakan sebuah keharusan yang berasal dari perintah sang guru untuk memperoleh kesaktian.

Kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak dipercaya agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Selain itu ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan biarpun dengan istri sendiri, bisa melunturkan seluruh kesaktian warok. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan khusus antara gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan di kalangan warok, diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak boleh mengumbar hawa nafsu kepada perempuan.

Saat ini memang sudah terjadi pergeseran dalam hubungannya dengan gemblakan. Di masa sekarang gemblak sulit ditemui. Tradisi memelihara gemblak, kini semakin luntur. Gemblak yang dahulu biasa berperan sebagai penari jatilan (kuda lumping), kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dahulu kesenian ini ditampilkan tanpa seorang wanita pun.


Reog di masa sekarang

Seniman Reog Ponorogo lulusan sekolah-sekolah seni turut memberikan sentuhan pada perkembangan tari reog ponorogo. Mahasiswa sekolah seni memperkenalkan estetika seni panggung dan gerakan-gerakan koreografis, maka jadilah reog ponorogo dengan format festival seperti sekarang. Ada alur cerita, urut-urutan siapa yang tampil lebih dulu, yaitu Warok, kemudian jatilan, Bujangganong, Klana Sewandana, barulah Barongan atau Dadak Merak di bagian akhir. Saat salah satu unsur tersebut beraksi, unsur lain ikut bergerak atau menari meski tidak menonjol.

Beberapa tahun yang lalu Yayasan Reog Ponorogo memprakarsai berdirinya Paguyuban Reog Nusantara yang anggotanya terdiri atas grup-grup reog dari berbagai daerah di Indonesia yang pernah ambil bagian dalam Festival Reog Nasional. Reog ponorogo menjadi sangat terbuka akan pengayaan dan perubahan ragam geraknya.

angklung jawa barat

APAKAH ALAT MUSIK ANGKLUNG, ANGKLUNG PENTATONIS DAN ANGKLUNG PADAENG?
APAKAH ALAT MUSIK ANGKLUNG ITU?

Image Angklung adalah alat musik terbuat dari bambu, dimainkan dengan cara digetarkan dan satu alat menghasilkan satu nada. Termasuk dalam kategori alat musik idiophone

Sound: sound alat musik angklung






APAKAH ANGKLUNG PENTATONIS?

ImageAngklung pentatonis adalah angklung dari masyarakat Sunda (dan dari daerah lainnya di Indonesia), dan dimainkan dengan lima nada tradisional, sehingga disebut pentatonis (5 nada), antara lain: pelog, salendro, madenda.



Sound: sound untaian nada da-mi-na-ti-la-da : Pelog
Sound: sound untaian nada da-mi-na-ti-la-da : Salendro
Sound: sound untaian nada da-mi-na-ti-la-da : Madenda

Sound: sound lagu pentatonis



APAKAH ANGKLUNG PADAENG?

ImageBapak Angklung Diatonis Daeng Sutigna, pada tahun 1937 mulai membuat angklung yang bertangganada diatonis (tepatnya diatonis kromatis), sehingga jumlah nadanya menjadi 7 buah seperti halnya alat musik dunia lainnya (misal piano, organ, biola)

Video: angklung diatonis
Sound: sound untaian nada do-re-mi-fa-sol-la-ti-do
Sound: sound lagu diatonis



Jenis alat musik angklung yang akan banyak dibahas di situs ini adalah angklung diatonis (disebut juga angklung padaeng). Untuk selanjutnya kata angklung  di sini bermakna angklung diatonis (= angklung padaeng)

Image Angklung Padaeng menjadi angklung bertangga nada diatonik kromatis, seperti halnya alat musik standard lainnya di dunia.

Beliau membuat angklung diatonis ini dalam dua jenis, yaitu angklung melodi (satu angklung mewakili satu nada) dan angklung accompagnement (satu angklung mewakili satu akord). Berikut disampaikan secara ringkas cara memainkan alat musik angklung agar dihasilkan permainan yang sempurna.

Tari Cangget (Lampung)

Lampung adalah sebuah provinsi yang letaknya paling selatan di Pulau Sumatera. Di dalam provinsi ini penduduknya terbagi dalam beberapa suku bangsa yaitu: Suku bangsa Lampung, Jawa, Sunda dan Bali Pada Suku bangsa Lampung sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu Lampung Pepadun dan lampung Sebatin. Lampung Sebatin adalah sebutan bagi orang Lampung yang berada di sepanjang pesisir pantai selatan Lampung. Sedangkan, Lampung Pepadun1 adalah sebutan bagi orang Lampung yang berasal dari Sekala Brak di punggung Bukit Barisan (sebelah barat Lampung Utara) dan menyebar ke utara, timur dan tengah provinsi ini. Sebagaimana masyarakat lainnya, mereka juga mereka menumbuh-kembangkan kesenian yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata, tetapi jatidirinya. Dan, salah satu kesenian yang ditumbuhkembangkan oleh masyarakat Lampung, khususnya Orang Pepadun, adalah jenis seni tari yang disebut “tari cangget”.

Konon, sebelum tahun 1942 atau sebelum kedatangan bangsa Jepang ke Indonesia, tari cangget selalu ditampilkan pada setiap upacara yang berhubungan dengan gawi adat, seperti: upacara mendirikan rumah, panen raya, dan mengantar orang yang akan pergi menunaikan ibadah haji. Pada saat itu orang-orang akan berkumpul, baik tua, muda, laki-laki maupun perempuan dengan tujuan selain untuk mengikuti upacara, juga berkenalan dengan sesamanya. Jadi, pada waktu itu tari cangget dimainkan oleh para pemuda dan pemudi pada suatu desa atau kampung dan bukan oleh penari-penari khusus yang memang menggeluti seni tari tersebut.

Waktu itu para orangtua biasanya memperhatikan dan menilai gerak-gerik mereka dalam membawakan tariannya. Kegiatan seperti itu oleh orang Lampung disebut dengan nindai. Tujuannya tidak hanya sekedar melihat gerak-gerik pemuda atau pemudi ketika sedang menarikan tari cangget, melainkan juga untuk melihat kehalusan budi, ketangkasan dan keindahan ketika mereka berdandan dan mengenakan pakaian adat Lampung. Bagi para pemuda dan atau pemudi itu sendiri kesempatan tersebut dapat dijadikan sebagai arena pencarian jodoh. Dan, jika ada yang saling tertarik dan orang tuanya setuju, maka mereka meneruskan ke jenjang perkawinan.

2. Macam-macam Tari Cangget dan Gerakannya
Tarian cangget yang menjadi ciri khas orang Lampung ini sebenarnya terdiri dari beberapa macam, yaitu:
Cengget Nyambuk Temui, adalah tarian yang dibawakan oleh para pemuda dan pemudi dalam upacara menyambut tamu agung yang berkunjung ke daerahnya.

Cangget Bakha, adalah tarian yang dimainkan oleh pemuda dan pemudi pada saat bulat purnama atau setelah selesai panen (pada saat upacara panen raya).

Cangget Penganggik, adalah tarian yang dimainkan oleh pemuda dan pemudi saat mereka menerima anggota baru. Yang dimaksud sebagai anggota baru adalah pada pemuda dan atau pemudi yang telah berubah statusnya dari kanak-kanak menjadi dewasa. Perubahan status ini terjadi setelah mereka melalukan upacara busepei (kikir gigi).

Cangget Pilangan, adalah tarian yang dimainkan oleh para pemuda dan pemudi pada saat mereka melepas salah seorang anggotanya yang akan menikah dan pergi ke luar dari desa, mengikuti isteri atau suaminya.

Cangget Agung adalah tarian yang dimainkan oleh para pemuda dan pemudi pada saat ada upacara adat pengangkatan seseorang menjadi Kepala Adat (Cacak Pepadun). Pada saat upacara pengangkatan ini, apabila Si Kepala Adat mempunyai seorang anak gadis, maka gadis tersebut akan diikutsertakan dalam tarian cangget agung dan setelah itu ia pun akan dianugerahi gelar Inten, Pujian, Indoman atau Dalom Batin.

Walau tarian cangget terdiri dari beberapa macam, namun tarian ini pada dasarnya mempunyai gerakan-gerakan yang relatif sama, yaitu: (1) gerak sembah (sebagai pengungkapan rasa hormat); (2) gerakan knui melayang (lambang keagungan); (3) gerak igel (lambang keperkasaan); (4) gerak ngetir (lambang keteguhan dan kesucian hati; (5) gerak rebah pohon (lambang kelembutan hati); (6) gerak jajak/pincak (lambang kesiagaan dalam menghadapi mara bahaya); dan (7) gerak knui tabang (lambang rasa percaya diri).

3. Peralatan, Busana, dan Perkembangannya
Peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari Canget diantaranya adalah: (1) canang lunik 8--12 buah; (2) bende sebuah; (3) gujeh sebuah; (4) gong 2 buah; (5) gendang sebuah; dan (6) pepetuk 2 buah.

Busana yang dikenakan oleh penari perempuan adalah: (1) kain tapis; (2) kebaya panjang warna putih; (3) siger; (4) gelang burung; (5) gelang ruwi; (6) kalung papan jajar; (7) buah jarum; (8) bulu seratai; (9) tanggai; (10) peneken; (11) anting-anting; dan (12) kaos kaki warna putih. Sedangkan busana dan perlengkapan pada penari laki-laki adalah: (1) kain tipis setengah tiang; (2) bulu seratai; (3) ikat pandan; (4) jubah; dan (5) baju sebelah.

Selain peralatan musik dan busana bagi penarinya, tarian ini juga menggunakan perlengkapan-perlengkapan pendukung lainnya, yaitu: (1) jepana (tandu usungan) yang dipakai pada saat mengantar dan menjemput tamu agung, sesepuh adat atau pun puteri kepala adat dan kutamara; (2) tombak dan keris, dipakai pada saat tari igel; (3) talam emas, dipakai untuk landasan menurunkan serta menaikkan para sesepuh atau tetua adat dari Jepana memasuki Sesat Agung ataupun sebaliknya; (4) Payung adat yang warna putih (lambang kesucian) dan warna kuning (lambang keagungan).

Adapun lagu-lagu yang sering dinyanyikan untuk mengiringi tarian Cangget Agung adalah (1) tabuh mapak/nyabuk temui; (2) tabuh tari (tarey); (3) serliah adak; (4) mikhul bekekes; (5) gupek; dan (6) hujan turun.

Saat ini, seiring dengan perkembangan zaman, penyelenggaraan tarian ini semakin berkurang. Tarian cangget tidak lagi ditarikan oleh para pamuda dan pemudi untuk saling berkenalan, melainkan telah menjadi suatu tarian khusus yang dimainkan oleh penari-penari tertentu (tidak sembarang orang) dan pada saat-saat tertentu saja (upacara adat saja).

4. Nilai Budaya
Cangget sebagai tarian khas orang Lampung Pepadun, jika dicermati, tidak hanya mengandung nilai estetika (keindahan), sebagaimana yang tercermin dalam gerakan-gerakan tubuh para penarinya. Akan tetapi, juga nilai kerukunan dan kesyukuran.

Nilai kerukunan tercermin dalam fungsi tari tersebut yang diantaranya adalah sebagai ajang berkumpul dan berkenalan baik bagi orang tua, kaum muda, laki-laki maupun perempuan. Dengan berkumpul dan saling berkenalan antar warga dalam suatu kampung atau desa untuk merayakan suatu upacara adat, maka akan terjalin silaturahim antar sesama dan akhirnya akan menciptakan suatu kerukunan di dalam kampung atau desa tersebut.

Sedangkan nilai kesyukuran juga tercermin dalam tujuan diselenggarakannya tarian tersebut, yang merupakan salah satu unsur dalam penyelenggaraan suatu upacara adat sebagai perwujudan rasa syukur kepada Sang Pencipta (Allah SWT).
(ali gufron)