Kamis, 29 Desember 2011

Alat Musik Tradisional Ntt

 SASANDO ROTE

Indonesia begitu kaya dengan berbagai kesenian daerah yang mengagumkan, termasuk di dalamnya adalah berbagai alat musik tradisional dengan kekhasan  bunyiannya. Salah satu alat musik yang harus sungguh-sungguh diperhatikan untuk tetap dipelihara adalah sebuah alat instrumen petik asal pulau Rote, Nusa Tenggara Timur yang bernama  Sasando, suatu puncak pencapaian seni musik yang ditemukan sejak abad 15.
Bentuk sasando mirip dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola dan kecapi. Tetapi keunikannya adalah bahwa bagian utama sasando berbentuk tabung panjang seperti Harpa yang biasanya  terbuat dari bambu. Sasando mempunyai media pemantul suara yang  terbuat dari daun Pohon Gebang (sejenis Pohon Lontar yang banyak tumbuh di Pulau Timor dan Pulau Rote) yang dilekuk menjadi setengah melingkar. Tempat senar-senar diikat terbuat dari bambu yang keras, penahan senar yang sekaligus sebagai pengatur nada senar juga terbuat dari bambu. Batang bambu itu lalu diikat menyatu dengan daun Gebang yang dibuat melingkar tadi. Tabung sasando ini terletak dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini adalah tempat resonansi sasando.
Bunyi sasando sangat unik, karena dibanding gitar biasa sasando lebih bervariasi. Jangan heran, hal ini karena sasando memiliki 28 senar. Itulah sebabnya memainkan Sasando tidaklah mudah  karena seorang pemain Sasando harus  mampu membuat ritme dan feeling bunyi nada yang tepat dari seluruh senar yang ada. Sasando dengan 28 senar ini dinamakan  Sasando engkel, sedangkan jenis Sasando dobel memiliki 56 senar, bahkan ada yang 84 senar.
Cara memainkan Sasando adalah dengan dipetik seperti memainkan gitar. Tetapi Sasando tidak memiliki chord (kunci) dan senarnya harus dipetik dengan dua tangan, sehingga lebih mirip Harpa. Sampai sekarang hampir semua bahan yang dipakai untuk membuat Sasando adalah bahan asli, kecuali senar Sasando. Saat ini Sasando sudah mulai di modifikasi. Pemantul bunyi dari daun gebang sudah diganti dengan spul gitar listrik yang ditempelkan pada batang bambu ditengah Sasando. Tentu Sasando model ini hanya bisa mengeluarkan bunyi keras dengan bantuan sound system.

Luar biasanya hampir semua jenis musik bisa dimainkan dengan Sasando: musik tradisional, pop, slow rock bahkan dangdut.
Pada kenyataannya, tidak banyak lagi orang yang mampu memainkan alat musik ini. Orang-orang tua yang selalu bangga memainkan Sasando bagi anak-anak mereka atau dalam upacara-upacara adat, lengkap dengan topi TiiLangga, pakaian dan tarian adat, sudah banyak yang meninggal. Sementara itu generasi muda tak banyak yang tertarik untuk sekedar mengenal apalagi belajar memainkan.

Legenda Sasando
Sasando sunggguh telah menjadi identitas Rote. Sasando memiliki kisah hikayat yang patut kita simak. Sasando berasal dari kata sari (petik) dan sando (bergetar) yang diyakini diciptakan Sanggu Ana pada abad ke-15 di pulau kecil dekat Pulau Rote, yaitu Pulau Dana, yang waktu itu dikuasai Raja Taka La’a. Sanggu adalah warga Nusa Ti’i di Pulau Rote Barat Daya. Dia ditahan Raja Dana saat terdampar di pulau itu ketika mencari ikan bersama kawannya, Mankoa. Selain seorang nelayan, Sanggu juga seorang seniman.
Saat itu Raja Dana memiliki putri. Putri jatuh cinta kepada Sanggu. Kepada Sanggu, putri menyampaikan permintaannya untuk memiliki alat musik baru yang diciptakan Sanggu dan bisa menghibur rakyat. Putri memang suka membuat hiburan rakyat saat purnama tiba.
Sanggu kemudian menciptakan sari sando yang artinya bergetar saat dipetik. Saat itu dengan tujuh tali yang terbuat dari serat kulit kayu atau akar-akaran. Hubungan putri dengan Sanggu itu ketahuan Raja Dana. Sang Raja Taka La’a marah besar dan menghukum mati Sanggu.
Kawan Sanggu yang sempat melarikan diri, Mankoa, melaporkan kejadian itu ke Nusa Ti’i. Anak Sanggu di Ti’i, Nale Sanggu, marah mendengar ayahnya tewas. Nale balas dendam bersama 25 kesatria Ti’i. Seisi Pulau Dana dimusnahkan, hanya anak-anak dan alat musik sasando warisan ayahnya yang diselamatkan ke Ti’i.
Di Ti’i sasando dimodifikasi, talinya menjadi sembilan. ”Musiknya sudah bisa lima not terdiri dari mi, sol, la, do, re. Si dan fa tidak ada,” jelas Nggebu.
Pada zaman Belanda, abad ke-18, jumlah tali ditambah menjadi 10 tali. Sesudah merdeka kembali mengalami perubahan dengan menambahkan tali menjadi 11 tali. Pada abad ke-19, sasando sasando haik itu dimodifikasi menjadi sasando biola oleh putra Ti’i bernama Kornelis Frans. Disebut sasando biola karena saat membuat nadanya disesuaikan nada biola.
Jumlah tali menjadi 39 buah dan nada pokok menjadi tujuh not. Kepada Tim Lintas Timur-Barat, Nggebu menunjukkan sasando biola miliknya yang sudah dimodifikasi. Ruang resonansinya tak lagi menggunakan haik, namun diganti kotak kayu dan dihubungkan amplifier agar suaranya nyaring.
Sasando  akan membawa Anda mengunjungi dan menikmati pulau Rote yang indah.

Foto: Vibizlife/Thomas Tonny
 

0 komentar: