Rabu, 07 Desember 2011

Tradisi Kasta dan nama orang Bali

Seperti yg kita ketahui, sebagian besar masyarakat Bali memeluk agama Hindu. Atas dasar itulah sampai sekarang system kasta masih dapat dijumpai di Bali. Kasta merupakan peninggalan nenek moyang orang hindu diBali yg diwariskan dari generasi ke generasi. Pada zaman dahulu, kasta itu dibuat berdasarkan profesi masyarakat. Sampai saat ini diBali ada 4 kasta yaitu:
Brahmana, Ksatrya, Wesya dan Sudra
-Kasta Brahmana merupakan kasta dari masyarakat yg mempunyai profesi yg bergerak dibidang religi/agama seperti Pendeta. Dimana sampai sekarang mereka diberi gelar/title Ida Bagus (laki-laki) dan Ida Ayu (perempuan).
-Ksatrya; kasta dari masyarakat yg berprofesi sebagai abdi Negara/kerajaan (zaman dulu), yg diberi gelar Anak Agung.
-Wesya; kasta dari masyarakat yg berprofesi sebagai prajurit. Mereka diberi gelar Gusti Bagus (laki-laki) dan Gusti Ayu (perempuan).
-Sudra; ini adalah kasta yg terakhir diBali, dimana kasta Sudra tidak mempunyai gelar, mereka hanya dberi nama menurut urutan kelahiran seperti; Wayan (anak pertama), Made (kedua), Nyoman (ketiga) dan Ketut (keempat). Jika ada yg mempunyai lebih dari 4 orang anak namanya akan kembali lagi keurutan pertama (wayan), begitupun seterusnya.
 Pada zaman dahulu masyarakat di Bali tidak boleh menikah dengan kasta yg berbeda. Seiring perkembangan zaman, aturan itu tidak berlaku lagi untuk saat ini. Mereka boleh menikah dengan kasta yg berbeda dengan syarat kasta yg perempuan harus mengikuti yg laki-laki. Jika kasta perempuan dari kasta yg tinggi, menikah dng kasta yg lebih rendah, maka kasta si perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya, Karena di Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.

TRANSFORMASI KEKUASAAN SEBAGAI DAMPAK GLOBALISASI
(Study pada memudarnya sistem kasta di Karangasem)
1. Latar Belakang
Makalah ini mengambil tema transformasi kekuasaan dengan mengambil studi kasus pada memudarnya sistem kasta di Bali. Dimana dalam makalah ini berusaha untuk menggambarkan bagaimana globalisasi memberikan pengaruh terhadap memudarnya sistem kasta yang begitu mengakar dalam masyarakat Bali.
Penulisan makalah ini dilatarbelakangi oleh konsep bahwa kekuasaan merupakan sesuatu hal yang selalu diperebutkan di masyarakat dengan menguasai sumber-sumber kekuasaan yang ada di masyarakat. Kekuasaan akan selalu diperebutkan karena dengan kekuasaan seseorang akan dapat melakukan kepentingan politiknya dan bahkan menuntut kepatuhan dari seseorang. Sebagaimana pendapat dari Haryanto bahwa :
kekuasaan yang ada pada genggaman penguasa dapat dipergunakan untuk meredam agar kelompok yang seharusnya tunduk dan patuh tidak mengadakan gugatan atau perlawanan; dengan kekuasaan, kelompok yang disebut belakangan, suka atau tidak suka, dipaksa untuk tunduk dan patuh terhadap tatanan atau kebijaksanaan yang berlaku.
Masyarakat Bali dengan bentuk kehidupannya yang telah berjalan secara turun temurun sangat kuat pola patrimonialismenya yang ditandai dengan adanya sistem kasta. Dengan kuatnya pola itu menyebabkan berbagai pemahaman terhadap kejadian selalu bersifat Purisentris, yang mengakibatkan apapun selalu menguntungkan keluarga Puri, seperti contoh : jika ibu ada yang melahirkan anak kembar buncing maka pada jaman dahulu ibu tersebut dan suaminya beserta anak-anaknya dalam beberapa waktu harus diasingkan, biasanya akan diharuskan tinggal di dekat kuburan desa sedangkan jika keluarga Puri yang melahirkan kembar buncing, maka akan ada pesta yang sangat meriah karena dianggap berkah dan seluruh warga masyarakat wajib untuk datang ke Puri untuk ngaturang ayah.
Suatu perubahan yang terjadi pada ranah masyarakat lokal memang tidak bisa dilepaskan pada situasi yang terjadi secara nasional maupun global, namun perubahan cara kehidupan masyarakat lokal terutama pada daerah urban sangat mempengaruhi perubahan yang terjadi tersebut, karena dengan adanya arus urbanisasi berbagai pengaruh dapat ditimbulkannya termasuk cara pandang masyarakat terhadap pola kehidupan yang telah ada sebelumnya.
Sebagaimana yang diketahui Bali merupakan daerah yang menjadi daerah tujuan pariwisata dunia yang tentunya akan berarti mengalami tekanan dari globalisasi dengan sangat kuat dan intensif. Globalisasi merupakan bentuk perkembangan dunia yang tidak dapat dihindari, namun perkembangan dunia tersebut menimbulkan berbagai pengaruh yang sangat besar pada kehidupan masyarakat di dunia.
Berbagai pergeseran baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya terjadi begitu cepat dan tidak ada yang dapat menghindarinya. Arus informasi, barang, uang maupun manusia bergerak sangat cepat sehingga seakan-akan tidak ada lagi batas di dunia ini. Globalisasi yang terjadi memang menimbulkan berbagai effek positif bagi perkembangan dunia, namun tidak dapat dipungkiri effek negatifnya pun tidak kalah banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat di dunia termasuk di Bali ditandai dengan memudarnya budaya Bali itu sendiri.
Salah satu bentuk pergeseran yang terjadi di Bali khususnya Karangasem adalah terjadinya pemudaran terhadap sistem kasta, dimana dalam kehidupan masyarakat Bali keberadaan sistem kasta akan menimbulkan stratifikasi kekuasaan. Namun globalisasi memberikan dampak bahwa terjadi perubahan cara pandang masyarakat Karangasem terhadap sistem kasta sehingga melahirkan sebuah transformasi kekuasaan pada masyarakat Karangasem selain juga karena pengaruh dari sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia.
Untuk memfokuskan penulisan makalah ini maka akan ditekankan pada diskripsi transformasi kekuasaan masyarakat Karangasem yang terjadi akibat pengaruh globalisasi.
2. Rumusan Masalah
Dari rumusan latar belakang yang telah disampaikan di depan, maka rumusan masalah yang disampaikan dalam makalah ini adalah : “bagaimana bentuk transformasi kekuasaan yang terjadi pada masyarakat Karangasem-Bali sebagai akibat dari pengaruh globalisasi?”
3. Kerangka Pemikiran
Untuk menggambarkan terjadinya transformasi kekuasaan akibat pengaruh globalisasi yang terjadi pada masyarakat Karangasem maka akan digambarkan sebagai berikut :
Dengan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa masuknya pengaruh globalisasi pada masyarakat Karangasem yang pada akhirnya melahirkan perubahan yang terjadi pada masyarakat baik itu dari segi politik, ekonomi, dan sosial budaya. Akibat perubahan tersebut pula berdampak pada cara pandang masyarakat terhadap sistem kasta. Dengan adanya perubahan masyarakat terhadap cara pandang terhadap sistem kasta yang kemudian akhirnya melahirkan transformasi kekuasaan pada masyarakat Karangasem.
4. Sistem Kekuasaan di Bali
Dalam sistem kasta di Bali dikenal dengan adanya pengelompokan masyarakat ke dalam 4 (empat) kasta yakni : Brahmana, Ksatriya, Weisya, dan Sudra. Dalam hubungan keempat kasta ini masyarakat yang berasal dari kasta triwangsa, yakni yang berasal dari kasta brahmana, ksatriya, dan weisya sangat memegang peranan
dalam kehidupan masyarakat Bali, bahkan dalam era otonomi daerah dengan pelaksanaan Pilkada peranan kasta triwangsa juga sangat berperan penting dalam masyarakat untuk memilih Bupati/Wakil Bupati.
Dalam pergaulan sehari-hari pun masyarakat yang berkasta sudra berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya seorang yang berasal dari kasta sudra harus menggunakan Sor Singgih Basa, untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi. Dalam penggolongan kasta di Bali dibagi menjadi 4 (empat) kelompok yaitu:
a. kasta Brahmana.
Kasta brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan. Dalam pelaksanaanya seseorang yang berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi seorang pendeta akan memiliki sisya, dimana sisya-sisya inilah yang akan memperhatikan kesejahteraan dari pendeta tersebut, dan dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggota sisya tersebut dan bersifat upacara besar akan selalu menghadirkan pendeta tersebut untuk muput upacara tersebut. Dari segi nama seseorang akan diketahui bahwa dia berasal dari golongan kasta brahmana, biasanya seseorang yang berasal dari keturunan kasta brahmana ini akan memiliki nama depan “Ida Bagus untuk anak laki-laki, Ida Ayu untuk anak perempuan, ataupun hanya menggunakan kata Ida untuk anak laki-laki maupun perempuan”. Dan untuk sebutan tempat tinggalnya disebut dengan griya.
b. Kasta Ksatriya
Kasta ini merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang yang berasal dari kasta ini merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun sampai saat ini kekuatan hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang beberapa desa masih merasa abdi dari keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang berasal dari keturunan kasta ksariya ini akan menggunakan nama “Anak Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan ada juga yang menggunakan nama Dewa”. Dan untuk nama tempat tinggalnya disebut dengan Puri.
c. kasta Wesya
Masyarakat Bali yang berasal dari kasta ini merupakan orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan keturunan raja-raja terdahulu. Masyarakat yang berasal dari kasta ini biasanya merupakan keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja, prajurit utama kerajaan, namun terkadang ada juga yang merupakan keluarga Puri yang ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak rendah dari keturunan asalnya karena melakukan kesalahan sehingga statusnya diturunkan. Dari segi nama kasta ini menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti Ayu, ataupun I Gusti. Dinama untuk penyebutan tempat tinggalnya disebut dengan Jero.
d. Kasta Sudra
Kasta Sudra merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki kedudukan sosial yang paling rendah, dinama masyarakat yang berasal dari kasta ini harus berbicara dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau yang disebut dengan Tri Wangsa. Sampai saat ini masyarakat yang berasal dari kasta ini masih menjadi parekan dari golongan Tri Wangsa. Dari segi nama warga masyarakat dari kasta Sudra akan menggunakan nama seperti berikut :
- Untuk anak pertama : Gede, Putu, Wayan.
- Untuk anak kedua : Kadek, Nyoman, Nengah
- Untuk anak ketiga : Komang
- Untuk anak keempat : Ketut
Dan dalam penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan umah.
Dengan uraian yang telah disampaikan di atas dalam penulisan makalah ini yang dimaksud dengan struktur kekuasaan dalam masyarakat Bali adalah struktur yang tercipta dalam kehidupan masyarakat Bali yang menciptakan elit-elit lokal dalam kehidupan masyarakat Bali. Dimana terbentuknya struktur kekuasaan tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor budaya sebagai warisan leluhur masyarakat Bali melalui sistem kasta, yang dapat digambarkan sebagai berikut :
5. Transformasi Kekuasaan akibat pengaruh globalisasi di Karangasem
Menurut Agus Salim Pola perubahan sosial ada dua macam yaitu yang datang dari negara (state) dan yang datang dari bentuk pasar bebas (free market). Perubahan yang dikelola oleh pemerintah berorientasi pada ekonomi garis komando yang datang secara terpusat, sedangkan dari pasar bebas-campur tangan pemerintah sangat terbatas. Negara memberi pengaruhnya secara tidak langsung, sehingga pasar bebas lebih dominan.
Jika pada bagian struktur kekuasaan masyarakat Bali telah disampaikan bagaimana sistem kekuasaan Bali melalui sistem kasta, namun setelah mendapat pengaruh globalisasi kehidupan masyarakat Bali yang diwujudkan dalam usaha pengalihan sistem kasta menjadi sistem warna. Adapun gambaran mengenai sistem warna dapat dijelaskan sebagai berikut.
Bagi sebagian orang di Indonesia dan mungkin sebagian masyarakat Bali tidak mengenal sistem Warna dalam masyarakat Bali karena selama ini mengenal bahwa sistem pembagian masyarakat Bali hanya berdasarkan kasta saja. Namun tidak dapat dipungkiri memang kasta telah menjadi suatu sistem pengelompokan dan pemetaan kuasa masyarakat di Bali.
Warna adalah suatu sistem pembagian atau pengelompokan masyarakat berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang tersebut bekerja sebagai seorang pendeta atau menjalankan fungsi-fungsi kependetaan maka dia akan berfungsi sebagai warna brahmana, jika orang tersebut bekerja sebagai pemimpin di masyarakat maka dia akan berfungsi sebagai wangsa ksatriya, atau jika seseorang bekerja sebagai seorang pejabat penting lainnya dia akan disebut sebagai orang yang menjalankan warna weisya, dan jika seseorang yang melaksanakan pekerjaan sehari-harinya sebagai buruh atau tenaga lepas dari seseorang maka ia dikatakan sebagai seseorang yang menjalankan fungsi sebagai warna sudra.
Akhir-akhir ini perdebatan mengenai kasta dan warna di Bali semakin menuai banyak pendapat, baik itu yang bersifat menerima apa adanya sebagai warisan leluhur, ada yang mencoba mengkritisi sebagai bentuk protes sosial dan upaya untuk menciptakan sirkulasi elit, ada yang mencoba memilahnya sesuai dengan situasi yang ada misalnya menerapkan konsep kasta ketika pada situasi adat istiadat namun menerima sistem warna sebagai praktek dalam kehidupan modern, dan terakhir ada yang menganggap bukan permasalahan serius ketika kekuasaan bisa diraih dengan berbagai macam cara.
Salah satu pendapat yang mencoba mengkritisi kasta dan warna, sebagaimana yang disampaikan oleh Made Kembar Kerepun, bahwa sistem Kasta di Bali merupakan sebuah rekayasa yang dibuat oleh masyarakat di Bali yang sangat cerdas dimana untuk menguatkan rekayasa tersebut para masyarakat yang disebut dengan aktor cerdas tersebut dengan sengaja membuat acuan-acuan dalam teks yang dalam kehidupan masyarakat Bali disebut dengan lontar yang bertujuan untuk membuat perlindungan utuk menguatkan rekayasa tersebut, dimana penulis mengemukakan sebagai payung hukum, dan pembenar. Made Kembar juga menyampaikan bahwa dengan adanya rekayasa tersebut telah merugikan, mensubordinasi, memarjinalkan, bahkan mendiskriminasi kaum di luar lingkungan Tri Wangsa dalam kehidupan sehari-hari.
Di Karangasem sendiri tranformasi kekuasaan pada masyarakat ditunjukkan oleh terjadinya pergeseran pada pemegang kekuasaan. Dimana pada kekuasaan dengan sistem kasta menempatkan Puri Karangasem sebagai penguasa penuh, namun dengan adanya pengaruh pandangan baru terhadap masyarakat Karangasem merubah peta kekuasaan itu sendiri yang ditandai dengan lahirnya elit-elit baru di masyarakat Karangasem.
Hal ini ditunjukkan dengan sudah 3 (tiga) generasi Bupati tidak pernah dijabat oleh keluarga Puri Karangasem. Ketika memasuki masa kemerdekaan Indonesia, keturunan Puri Karangasem tersebut yang menjadi Bupati pertama Karangasem adalah anak pertama AAAA Ketut Karangasem, yakni Anak Agung Gede Jelantik. AA Gede Jelantik sempat digantikan oleh kalangan bukan Puri Gede (Puri Karangasem), yakni I Gusti Lanang Rai. Pengganti I Gusti Lanang Rai kembali berasal dari Puri Gede, yaitu Anak Agung Gede Karang-ayah AA Arya Mataram-hingga 2,5 kali masa jabatan (12 tahun) menjadi Bupati Karangasem.
Setelah masa itu, dari Puri Karangasem tidak ada lagi yang menjabat sebagai Bupati Karangasem. Mulai tahun 1970-an masa partai-partaian, tiga bupati di Karangasem tidak berasal dari puri dan biasanya jatah polisi. Bupati tersebut adalah I Ketut Merta, Sm.ik, kemudian pasca reformasi dijabat oleh Drs. I Gede Sumantara Adi Prenata, dan I Wayan Geredeg.
Selain dari dominasi terhadap jabatan Bupati, indikasi terhadap memudarnya kekuasaan Puri Karangasem juga bisa dilihat dari munculnya elit-elit baru yang mampu menguasai sumber-sumber ekonomi masyarakat Karangasem. Dengan pengaruh globalisasi dengan sistem kapitalismenya adanya elit baru di bidang ekonomi tersebut membuat terjadinya pergeseran pandangan masyarakat terhadap siapa yang berkuasa, karena dengan melihat kondisi perekonomian masyarakat Karangasem maka masyarakat akan cenderung “ikut” pada pemilik modal. Beberapa elit ekonomi baru yang muncul di Karangasem seperti : Gusti Tusan, Suryanata Sari, dan I Wayan Geredeg. Gambaran transformasi kekuasaan yang terjadi adalah sebagai berikut :
1. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya transformasi kekuasaan di Karangasem salah satunya mendapat pengaruh dari globalisasi yang memberikan cara pandang baru termasuk melahirkan kapitalisme. Dimana transformasi kekuasaan tersebut ditandai dengan adanya elit-elit baru yang mampu menggeser dari kekuasaan Puri yang berasal dari sistem kasta. Selain itu transformasi kekuasaan juga melahirkan diperjuangkannya sistem warna sebagai sebuah bentuk hubungan dalam masyarakat.
Dengan demikian hal ini merupakan sebuah fenomena di tengah semakin menguatnya kedudukan Puri karena pengaruh desentralisasi yang diterapkan dengan pelaksanaan Pilkada Bali. Sebagaimana yang terjadi pada Badung dan Gianyar.

0 komentar: